Hampir setiap hari, ia mendapat pertanyaan “Kapan nyusul?” atau “kapan menikah?” dari orang-orang di sekitarnya. Pertanyaan tersebut sedikitnya ia dengar 3 kali dalam sehari. Bagi sebagian orang, mungkin kehidupan tidak lebih dari Fast and Furious; tiada hari tanpa balap-balapan, katanya. Dan sementara pada lain kisah, dirinya baru saja ditinggal menikah oleh kekasihnya, kalau tidak  salah, sebulan yang lalu.

Coba bayangkan, kalau sehari 3 kali, maka dalam satu bulan bisa sampai 93 kali. Betapa bosan sekali hidupnya karena dalam satu bulan mendapat pertanyaan tersebut sebanyak hampir 93 kali. Dan betapa dalam hatinya selalu berkata ‘dasar kau tolol!’ kepada orang-orang yang selalu bertanya hal yang seharusnya menjadi urusan pribadinya tersebut.

Karena hal tersebut juga, ia jadi mendapat ide, bahwa setiap orang yang bertanya maka harus membayar denda sebanyak Rp 135.000-, untuk beban mental yang ditanggungnya. Maka dalam satu bulan ia mendapat upah kira-kira sebanyak Rp 4.200.000-, dari hasil susah payahnya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari orang yang ia sebut sebagai "Orang tolol!" karna saking kesalnya. Tidak perlu dihitung ulang, hanya gambaran saja.

Pada suatu ketika. ‘Geng tolol datang lagi!’ kata ia kepada kawanannya, kebetulan kawan-kawannya sering bertanya hal demikian, padahal di antara mereka berempat sama sekali belum ada yang menikah. Dari seringnya berkumpul, mereka sekawanan manusia yang akhirnya berhasil mendapatkan ide paling ajaib.

‘Para kawan, para tetangga...’ kata salah satunya.
‘Sebentar, tetangga ikutan juga?’ kata yang lain.
‘Itu harus!’ kata satunya lagi bersemangat.
‘Benar! Tetangga itu paling wajib, kan mereka yang paling banyak bertanya.’ Katanya

Dari perkumpulan itu, maka resmilah sebuah undang-undang tentang siapa yang bertanya soal “kapan nyusul?” atau “kapan nikah?” maka wajib hukumnya bayar denda.

Di atas selembar kertas dan empat lembar materai yang digambar sendiri, mereka menandatangani undang-undang tersebut, masing-masing mempunyai peran, ada yang menjadi hakim, saksi dan sisanya ikut saja. Mereka berempatlah pencetus undang-undang tersebut. Tapi undang-undang tersebut sama sekali tidak mereka usulkan kepada wakil rakyat yang bahkan jabatannya sekadar RT. Bukan karena tidak mau, mereka hanya tidak percaya kepada wakil rakyat yang tololnya tidak jauh beda dengan para tetangganya yang kebanyakan bertanya.

Undang-undang tersebut mereka pertahankan selama 3 tahun lamanya, siapa yang melanggar harus bayar denda. Sampai pada akhirnya, pada tahun ke-empat, ketiga kawannya meninggalkannya menikah duluan, dan hanya menyisakan undang-undang yang ditulis tangan oleh ia dan kawan-kawannya.

‘Masalah ng3we masih aja diurusin tetangga!’ katanya sambil merobek-robek kertas undang-undang yang hampir setiap hari ia bawa di dompetnya. Dan pada akhirnya, ia pun tolol sendirian.