“Kita merindukannya, dan dia lebih merindukan kita”
Ayah, bisa ceritakan kembali kisah kemarin?
Tidak bosankah kau, Jane? Kalau begitu akan kuceritakan beberapa hal yang masih ayah ingat sebelum kita pergi dan melupakan semuanya, mungkin ini agak berbeda dengan yang biasa diceritakan ibumu ketika kau menjelang tidur.
Dulu, sekitar pada tahun 80-an, tentunya kau belum lahir, dan akupun masih seorang anak kecil yang sedang berbahagia dengan kehidupannya kala itu, dan belum mengetahui tempat-tempat seperti ini. Dan, dulu sekali di sana belum ada yang namanya lampu terang seperti lampu neon yg kau lihat di atas kamarmu, lampu-lampu terang di teras rumah, di pinggir jalan, dan suara-suara gaduh televisi yang masih menyala saat kau menontonnya sampai tertidur. Yang ada hanya temaram pertromak yang digantung di bilik rumah, terkadang saat tengah malam menjelang, petromak itu sudah padam terlebih dahulu, dan kau terpaksa harus menikmati gelapnya pandanganmu ketika mata masih terjaga.
Konon katanya, sekarang di sana sudah hampir berubah, semenjak ada pembangkit tenaga listrik pada tahun 1980 yg mengubah suasana kampung itu, keadaannya sampai sekarang sudah semakin lebih baik, meski di antaranya masih sama, hanya dengan penduduk yang sudah tidak kukenal lagi. Banyak orang-orang baru, mungkin karena sebagian orang menikah dengan pasangan beda kampung, kota, atau dari mana asalnya yg tiba-tiba jika aku ke sana pada tahun-tahun ini, aku hanya akan menemui anak-anak kecil yang tidak aku kenal, mungkin mereka itu buah hasil dari teman-temanku dulu yang sudah pada menikah dan menetap di sana.
Ada satu peristiwa yang masih aku ingat sampai saat ini, dulu sekali, pada tahun-tahun itu, saat listrik mulai menerangi rumah-rumah warga, di sanalah waktu-waktu paling bahagia. Aku sendiri saat itu kemungkinan berusia 4 atau 5 tahun, jelas aku ingat, karena saat itu aku sama sekali belum masuk sekolah dasar, dan harus kau tahu, dulu sekali belum ada yang namanya TK seperti sekolahmu, bisa dibilang langsung SD.
Hal yang paling membahagiakanku saat itu sangatlah mudah, aku dibawa kakek-nenekmu berkunjung ke tetangga yang jaraknya lumayan membuat capek ketika harus menggendongku di punggungnya. Kami berkunjung ke rumah tetangga hanya sekedar untuk menonton televisi yang hanya berwarna hitam putih, dan rasa bahagia itu hampir sama seperti yang kau rasakan ketika aku membawamu ke bioskop untuk menonton film favoritmu. Sampai-sampai aku tidak ingin pulang sebab karena aku masih ingin menonton televisi itu, meski waktu sudah tengah malam, sampai aku tertidur, dan ketika terbangun sudah berada di rumah. Sama sepertimu yg kadang tertidur dihadapan televisi, yang kemudian aku gendong ke kamarmu, tanpa sadar.
Suasana kampung itu, ketika baru jam 7 malam, rasanya sudah sepi sekali, ketika listirk-listrik belum masuk ke desa, hanya akan merasakan kesunyian yang mungkin kau tak akan tahan jika kau baru merasakannya, sangat-sangatlah berbeda dengan suasana kota yang mulai ramai di malam hari. Di kampung itu, suara jangkrik sudah pasti terdengar, mungkin juga daun jatuhpun akan seolah berbisik di telingamu.
Dan, ketika kau terbangun di pagi hari, orang-orang sudah mulai sibuk, pergi ke ladang dan sawah, karena itulah satu-satunya pekerjaan yang menghasilkan uang, atau sekedar untuk bertahan hidup dengan bahan pokok seadanya. Harus kau tahu, sampai sekarang keadaan tersebut hampir masih sama, tetapi juga ada banyak perbedaan lainnya.
Dan biasanya, saat sore menjelang, anak-anak seusiamu sudah bersiap untuk berangkat ke surau, karena selain mengaji, surau adalah tempat paling membahagiakan ketika aku bertemu dengan teman sebayaku, bermain apa saja yang bisa dilakukan di sana, sebelum suara adzan terdengar.
bahkan, aku dan ibumu sudah berteman sejak kecil, kami selalu bermain bersama, pergi ke surau, lalu bermain sepuasnya untuk menghabiskan masa kecil sebelum dewasa tiba.
ayah..
lalu bagaimana kau bisa bersama dengan ibu?
Jane, kau tahu, pertanyaanmu itu, aku ingin juga bertanya pada kakekmu tentang bagaimana dia bertemu dengan nenek. Ha-ha
Ibumu sosok yang periang, banyak bicara, tapi bukan bicara yg omong kosong, kata-katanya selalu membuat aku semakin suka padanya, ia dewasa, memang seperti sudah seharusnya kalau seorang wanita terkadang lebih dulu dewasa dibanding laki-laki. Ibumu dan aku sebelumnya sempat tidak saling bertemu sekitar beberapa tahun, lalu, aku dan ibumu bertemu kembali di suatu tempat di Jakarta, dan kebetulan ibumu juga berada di sana, dekat dengan tempat kerja teman ayah. Kami bertemu, lalu mengenang masa lalu, kemudian seperti ada satu tali yg mengikat kami untuk bersama. Begitulah kehidupan, selalu tidak bisa ditebak.
Apa kau merindukan ibu?
Harusnya aku sudah tidak perlu menjekaskan ini, tapi apa boleh buat, perasaanmu dan perasaanku mungkin berkata sama, kita merindukannya, Jane.
Kau lihatlah, Jane, ibumu baru pulang. Aku sangat ingin memeluknya, tubuhnya yg semakin kurus dimakan kesedihan, matanya yg terlihat sembap, hatinya yg hancur, dan aku ingin sekali menghiburnya. Padahal kita di sini, di sampingnya, tapi apa boleh buat, kita berdua hanya bisa melihat ibu, tapi tidak bisa berbuat apa-apa, dan ibumupun tidak bisa melihat kita. Kita sudah menjadi sesuatu yang lain.
Aku merindukan ibu.
Kita merindukannya. Dan dia lebih dari merindukan kita.
_____
Sumber gambar: https://www.arah.com/article/6842/menurut-islam-bolehkah-ayah-mencium-anak-perempuannya.html
7 Comments
*peluk Dian*
BalasHapusIni true story yang difiksikan kan?
ini tuh fiksi yg di-story-kan. bingung kan? sama.
HapusAbis baca cerpen apaan lu, Yan? Cerpennya Agus Noor?
BalasHapusJane, saya paham bagaimana rasanya rindu ditinggal seorang ibu. Meski hanya beberapa bulan. Saat itu saya sangat sadar kalau belum siap hidup tanpanya, Jane. Mungkin saya memang tidak akan pernah siap sampai kapan pun. Berarti, kau kuat dan hebat sekali, Jane. :')
haha, iya, Agus Noor dan kumcer Bernard Batubara.
HapusSebenarnya, ibunyalah yg lebih merindukan Jane. DIa ditinggalkan sendiri :')
Cerpennya bagus, Mas Dian! :( udah lama banget gue enggak baca-baca cerpen kayak gini. Kayaknya terakhir kali gue baca cerpen model gini tuh sekitar setahun yang lalu, pas masih rajin main Wattpad. Sekarang udah engga lagi. Aplikasinya aja udah gue hapus :(
BalasHapusMakasih, Reza.
Hapusbahkan baca wattpad aja gue belom pernah nyoba. haha
Ini jleb sih, Dian. Sudah kuduga ada sesuatu yang lain di ujungnya. Ternyata benar. :')
BalasHapusPosting Komentar
Terima kasih untuk waktunya, berikan komentarmu di sini.