Setelah melamar kerja dan gagal
pada interviu kedua, saya langsung menghubungi seorang teman di Kemayoran,
Jakarta. Seperti biasanya, jarak selalu membuat saya enggan untuk segera pulang
ke tempat kos di Cileungsi, Bogor. Apalagi baru saja menerima kenyataan yang
sebenarnya tidak terlalu pahit, rasanya badan ini harus direbahkan sejenak di
suatu tempat.
Saya menghubungi Hendar, teman
sekampung yang kebetulan sudah tinggal cukup lama di Kemayoran, buat apa lagi
tinggal di Kemayoran kalau bukan karena tuntutan untuk tetap bernapas dan hidup
hedon, sekaligus menghabiskan waktu
dengan cara bekerja. Begitupun dengan saya, selagi memikirkan untuk apa saya hidup
lebih lama lagi, saya memutuskan untuk menjalani hidup selayaknya orang-orang
kebanyakan; mencari uang, terus mencari uang dan tentu saja dengan cara bekerja,
sebab untuk makan saja harus punya uang, bukan? Kecuali kau makan dengan tanah
liat atau batu-batuan, kalau seperti itu cukuplah dengan tinggal di hutan,
kembali lagi saja seperti manusia purba.
Saya mencoba menghubungi Hendar
melalui aplikasi Whatsapp, “Pada masuk kerja?”, pesan tersebut saya kirim
kepada Hendar sekitar jam 10 Pagi.
“Libur euy..” balasnya dengan tambahan kata ‘euy’ yang menunjukan bahwa jati
dirinya adalah tetap orang Sunda.
“Siapa saja yang libur? Nanti
saya main ke situ, sekarang lagi di Cideng.” Balas saya sambil berjalan keluar
dari gedung tempat saya interviu kerja.
“Yaudah ke sini buruan. Lagi
ngapain sih di Cideng, pacaran?” balasnya sekaligus memberi pertanyaan yang
aneh-aneh. Lagian apa asiknya pacaran di jam 10 pagi?
“iya nih, lagi pacaran”
“Mau ditangkap Satpol PP pacaran jam segini?”
“...Si Ajun juga ada di sini.”
Lanjutnya sekaligus memberi tahu saya tentang keberadaan teman saya yang
sudah lama tidak pernah bertemu. Ajun
adalah teman saya sewaktu SMP. Meski banyak sekali nama Ajun di dunia ini,
khususnya di Jawa Barat, saya bisa langsung mengetahui Ajun mana yang Hendar
maksud, sebab Ajun sendiri adalah saudara dekat dari Hendar.
Mengingat Ajun, pikiran saya
seperti kembali lagi ke masa lalu, dalam kenangan itu, saya mengingat betapa
kami ini adalah dua orang yang sangat brengsek atas apa yang pernah kami lakukan
pada masanya; saat sekolah, kami pernah meminta sumbangan ke adik-adik kelas
padahal uangnya kami pakai buat jajan,
sering bolos bareng, pulang pergi berdua,
sampai-sampai suatu kali, kami pernah mengencani perempuan yang sama.
ah... betapa brengseknya kami dulu. Tapi setelah dipikir-pikir lagi,
brengseknya kami di masa itu, ternyata masih belum apa-apa daripada kehidupan
kami di masa sekarang, di mana malah kami yang dipecundangi oleh kehidupan.
Setengah jam setelah saya selesai
interviu, saya sampai di tempat kos Hendar dan Ajun. Sebelumnya saya sempat
nyasar, saya pikir Hendar belum pindah dari tempat kos yang sebelumnya pernah
saya kunjungi.
Karena merasa ada yang aneh sebab
tempat kosnya sepi, saya mencoba bertanya kepada warga sekitar, “Hendarnya ada
gak yah, bu?” tanya saya kepada salah satu warga, siapa tau ada yang kenal,
pikir saya.
“Oh.. bang Hendar, udah pindah ke
mes katanya.” Kata seorang ibu-ibu menjawab tidak yakin, yang diperkirakan
usianya kurang lebih 55 tahunan.
Setelah saya pikir-pikir lagi,
mana ada tempat kerjanya memberi mes untuk karyawannya? Sebab yang saya tau
dari dulu belum ada sejarahnya tempat kerja tersebut memberi mes, apalagi dengan
gajinya yang tidak seberapa, tapi cukup untuk sekadar makan dua kali sehari,
atau bisa untuk membeli cash motor Yamaha NMAX tapi dengan syarat kau tidak
makan selama setahun.
Setelah mengetahui bahwa Hendar
pindah kosan, saya pun langsung mengirim pesan lagi ke Hendar untuk menanyakan
tempat kos barunya.
“Iya pindah, sini dekat si
Rahmat.” Balas Hendar dengan menyebut salah satu orang yang saya kenal juga,
sekaligus menjawab bahwa memang dia tidak pindah ke mes seperti yang dikatakan
ibu-ibu yang sempat saya temui.
Karena saya enggak tau di mana
lokasi kos barunya, saya pun segera melajukan motor ke dekat Masjid Akbar, tempat yang tidak jauh dari kos hendar sebelumnya, dan
meminta untuk dijemput di sana.
Di sekitar masjid akbar, ketika
hendak menurunkan standar motor, tiba-tiba dari arah kanan jalan ada orang yang
melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. Orang tersebut langsung saya kenali
dari cara berjalannya, dia adalah teman SMP saya, Ajun.
Saat Ajun menghampiri, saya
merasakan banyak perubahan dari postur tubuhnya, dulu tingginya masih dibawah
saya, sama rata dengan pundak, tapi untuk sekarang malah saya yang lebih pendek
darinya. Perubahan lain yang lebih mencolok adalah ketika kami sampai di
tempat kosnya, karena saat itu siang
bolong, dan cuaca Jakarta sangat panas, Ajun membuka baju, mungkin karena
kegerahan, saat itu saya baru menyadari bahwa badannya dipenuhi dengan tato. Di
dadanya tertulis sebuah kata ‘GOD SAVE ME’, di lengannya ada gambar yang entah
menggambarkan apa, lalu di belakang punggungnya telukis wajah Bunda Maria.
Pikiran saya seketika muncul satu
pertanyaan; ‘Apakah si kampret ini pindah agama?’
Untuk segala yang terlukis pada
tubuhnya, saya belum berani bertanya.
Siang itu, di tempat kos Hendar
dan Ajun, saya merasakan suhu Jakarta sangat panas sekali, padahal dua kipas
sudah berputar, kipas dari arah atas yang tergantung di plafon berputar cukup
kencang, dan dari kanan dekat lemari baju juga berputar meski putarannya
terlihat cukup lambat. Sepertinya kalau saya lama-lama tinggal di sana
bisa-bisa saya mati karena masuk angin. Tapi, seperti halnya cinta—seperti yang
banyak orang katakan—mungkin lama-lama akan bisa karena terbiasa. Sama halnya
dengan Ajun dan Hendar, mungkin mereka juga sudah biasa hidup dengan dua kipas
disaat cuaca Jakarta sedang panas-panasnya. Ah.. untung saja panasnya udara di
tempat kos saya, di Cileungsi, tidak separah Jakarta.
Selagi merebahkan badan di kasur
lantai, saya banyak berbincang dengan Ajun, tentu sesekali menceritakan bagaimana
kami saat sekolah dulu, dan selebihnya kami membahas apa yang terjadi pada
hidup kami belakangan ini; tentang pekerjaan, kehidupan, rumah tangganya, dan
tentang pilihannya untuk pergi dari rumah karena Ajun dan orang tuanya sempat
berselisih.
“Ada yang bilang, cobaan terberat
dalam rumah tangga itu ketika baru mempunyai anak satu, Jun. Ada aja...” kata saya
berusaha untuk mendengar sekaligus memberi pendapat saat Ajun bercerita. Tentu
kata-kata tersebut tidak saya dapat dari sembarang tempat, kata-kata tersebut saya
dengar ketika saya dinasihati oleh tetangga kos di Cileungsi. Terkadang ada
satu hal yang disampaikan kepada kita padaha hal tersebut sebenarnya untuk
disampaikan kepada orang lain. Seperti kata yang saya ucapkan kepada Ajun,
setidaknya saya harap itu sedikit menjawab atas keresahannya.
Mungkin saking lelahnya tubuh
saya, selagi Ajun bercerita, tiba-tiba saya tertidur lelap, meninggalkan
suara-suara sekitar, tentunya juga suara dari cerita hidup yang dialami oleh Ajun.
***
Ketika terbangun karena suara
musik dari kamar kos sebelah, saya masih berada di atas kasur lantai berwarna
hijau, kipas di plafon masih berputar, dan terlihat Ajun yang sedang menonton
film hasil download dari Youtube Go di ponselnya.
“Udah jam 3 aja..” kata saya
mencoba membuka percakapan sekaligus memberi tahu Ajun kalau saya masih hidup
dan belum mati karena masuk angin.
Ketika tubuh masih dalam proses
menyadarkan diri selepas tidur siang, saya mengingat-ingat tentang ajakan dari Ajun
untuk jalan-jalan di sore hari. Entah bosan karena libur seharian cuma tiduran
di kosan, atau bosan karena pikirannya yang kacau sebab merindukan istri dan
anaknya yang belum berusia setahun yang ia tinggalkan di kampung, sebab Ajun
harus bekerja untuk menafkahi mereka.
“Katanya mau main, Jun, ayo! Ke
mana?” tanya saya mencoba mengingatkan kembali keinginannya yang ia
katakan tadi siang kepada saya.
“Iya, ayo ke Kalibata.” Jawabnya
sekaligus mengatakan tujuan yang sebenarnya cukup jauh dari tempat kos di
Kemayoran.
“jauh pisan..” kata saya mengeluh.
“ke kakak saya, sekaligus ketemu
bapak.” Balasnya serius yang membuat saya tidak bisa menolak cuma karena alasan
jarak yang lumayan jauh.
Meski badan saya masih terasa
capek, saya mengantar Ajun dengan motor Beat. Berangkat jam 3 sore, saat
jalanan Jakarta lumayan macet, tapi suhu udara sudah tidak terlalu panas, kami
berdua mengendarai motor dengan bantuan aplikasi GPS di ponsel milik saya yang kacanya
retak karena terjatuh beberapa waktu lalu.
Sekitar kurang lebih satu jam,
kami sampai di lokasi; putar arah di dekat Rumah sakit Jakarta Medical Center
(JMC) dan memasuki gang-gang kecil untuk sampai di rumah kakaknya Ajun. Saya
pun baru tau kalau Ajun punya Keluarga di Jakarta.
“Nah ini rumahnya” kata Ajun
sambil menunjuk satu rumah dengan gerobak jus buah di depannya. “kita lurus
dulu..” lanjutnya.
“Mau ke mana lagi?” tanya saya.
“Ke bapak..”
“Hah..?”
“Kalo Dadang itu bukan bapak saya,
dia bapak tiri saya, bapak saya yang sebenarnya itu Iwan.” Kata Ajun
menjelaskan, karena saya memang tahunya ayah Ajun itu Mang Dadang, begitu saya memanggilnya.
Sebelum sampai ke lokasi yang
entah di mana, Ajun meminta saya untuk berhenti di depan masjid yang cukup
besar. Dia lebih dulu turun, membuka sepatu dan kaos kakinya yang sebenarnya
lumayan untuk menyekap seseorang sampai pingsan.
“Kita salat dulu, masih salat,
kan?” ajaknya kepada saya, yang seharusnya kata-kata tersebut keluar dari mulut
saya, karena saya masih penasaran dengan tato-tato di tubuhnya yang lebih
memperlihatkan bahwa dia terlihat seperti sudah pindah agama.
Setelah selesai wudhu, kami
berjalan ke dalam masjid, sebelum memasuki pintu, saya melihat ada beberapa
bapak-bapak sedang menghitung uang dari kotak amal yang dengan sekali lihat kau
sudah bisa membeli mobil kalau mengumpulkan uang dari kotak amal selama satu
minggu.
“sok! silahkan yang punya wilayah..” kata saya kepada Ajun,
sekaligus yang saya maksud adalah ‘silahkan jadi imam’.
“Nya maneh atuh, piraku aing..” balasnya dalam bahasa Sunda, yang
artinya ‘ya kamu dong, masa saya..’, dan hal tersebut malah bikin kami berdua
tertawa.
Selesai salat, sepertinya satu
pertanyaan dalam otak saya yang sebelumnya masih saya pikirkan, akhirnya
terjawab sudah, kawan lama saya ini tidaklah pindah agama, dan saya tidak perlu
juga mengejeknya dengan kata-kata seperti, “Kafir, main kuy!”. Lagian, kalaupun
benar pindah, itu juga enggak perlu
diributin.
Karena waktu semakin sore, kami
bergegas ke tempat yang Ajun tuju, melewati lagi gang-gang kecil, melewati
ibu-ibu yang sedang senam sore, dan pada akhirnya kami sampai di suatu tempat
yang tidak saya duga sebelumnya, kami sampai di tempat orang-orang istirahat
dari dunia untuk terakhir kalinya; pemakaman.
“Di mana sih, Jun?” tanya saya
saat Ajun masih mencari-cari nama Iwan di antara banyaknya batu nisan. Beberapa
batu nisan terlihat masih kokoh dengan batu bata yang sudah disemen sebagaimana
makam pada umumnya, dan sebagian batu
nisan lain ada yang sekadar terlihat batu saja, bahkan ada juga yang hampir
rata dengan tanah. Mungkin sebagian ada yang tertumpuk mayat-mayat baru karena
tidak terurusnya pemakaman tersebut.
“gatau lupa, tolong bantuin cari
yang namanya Iwan..” jawabnya sekaligus meminta saya untuk membantu mencari
batu nisan bernama Iwan, ayahnya.
“Ini Jun, sebelah sini!” saya
menemukannya.
Kami duduk di pinggir batu nisan,
dengan nama Iwan disertai tahun meninggalnya; 2010, tertulis di sana.
Ajun mengeluarkan buku kecil dari
tasnya, buku itu tertulis kata ‘Yassin’ pada sampulnya. Sebelum membaca, ia
mengucap kata-kata, pelan tapi masih terdengar jelas di telinga saya. Meminta
doa restu, doa untuk keluarga kecilnya, dan selebihnya tidak terdengar jelas.
Dan yang saya lakukan, hanya membantu doa dengan surat Al-Ikhlas selagi ia
membaca Surat Yassin.
Selesai berziarah, kami sampai di
rumah yang sebelumnya sempat Ajun tunjukan, rumah bang Irfan, yaitu kakaknya Ajun. Ada beberapa kepala keluarga di rumah
tersebut, saya juga bertemu dengan neneknya Ajun yang biasa dipanggil dengan
sebutan ‘Abu’. Mereka sangat ramah, dan sepertinya tentang apa yang Ajun
katakan sebelumnya kepada saya kemungkinan memang akan terwujud, “Saya pasti
bahagia kalau tinggal di sini...” Kata Ajun dalam perjalanan tadi sebelum
sampai ke rumah tersebut.
Kami banyak mengobrol, terutama
bersama kakaknya, bang Irfan, yang kebetulan jadi dosen di salah satu fakultas ternama di Jakarta. Selain ‘mengintrogasi’ Ajun dan juga saya, bang Irfan juga
beberapa kali membagikan kisah hidupnya, dan kisah hidup tiap orang ternyata
sama saja pernah mengalami hal sulit.
Waktu berlalu singkat, dalam
kesedihan yang tidak terlalu dalam yang saya rasakan karena gagal dalam mencari
kerja, di sisi lain ada seseorang yang merasa lebih gagal menjadi seorang ayah.
Saat kacaunya pikiran saya, saya bertemu dengan Ajun, disaat itu saya sadar,
bahwa hidup pasti akan selalu dipertemukan dengan kegagalan, tapi enggak
apa-apa, karena kalau enggak gagal, kita gak bakal dipertemukan dengan kata ‘coba
lagi’, bukan ‘berhenti’.
Sekitar jam setengah sembilan
malam, kami berdua pamitan kepada bang Irfan, Abu dan beberapa orang lain yang
kebetulan ada di sana. Motor saya keluarkan dari gerbang rumah, dan ketika saya
hendak memakai sepatu, saya baru menyadari bahwa kaos kaki saya sudah tidak
lagi berada di tempatnya, dalam sepatu.
Dicari-cari enggak ketemu, dalam
tas, box motor, dan tentu disekitar sepatu-sepatu lain, masih tidak ditemukan. Saya
sempat kesal, tapi karena cuma kaos kaki buat apa disesali terus menerus. Kaos kaki
bisa dibeli lagi, kecuali yang hilang itu seseorang yang kita sayangi sudah
tidak lagi berada di dunia ini, mungkin saya juga harus bersedih untuk
sementara waktu.
Begitupun dengan Ajun, saya tidak
bisa menebak apa yang ia sedang pikirkan dalam kepalanya, antara bersedih atau
bahagia setelah pertemuannya dengan
keluarga yang jarang ia temui.
Kaos kaki sudah saya relakan. Kami
meninggalkan rumah dengan penghuninya yang ramah di suatu malam. Dalam perjalanan
pulang ke kemayoran, pikiran saya kembali berputar dengan beberapa pertanyaan;
apakah nanti kalau sudah berkeluarga saya akan bahagia? Pertanyaan tersebut
tergambar jelas daripada pertanyaan-pertanyaan lain yang saat itu saya
pikirkan, dan satu lagi pertanyaan yang terus berputar-putar dalam kepala
selama dalam perjalanan pulang kembali ke kemayoran. Pertanyaan yang saya harap
segera dilupakan; kira-kira ada berapa orang yang akan mengingat saya setelah saya meninggal?
20 Comments
Tulisan yang cukup anjing. Awal-awal baca banyak ketawa sekaligus bertanya-tanya, "kalian gimana caranya sih bisa bikin tulisan lucu padahal aslinya lagi sedih?" soalnya gue gak bisa gitu. Pas bawah-bawah langsung datar bacanya, gak bisa ketawa lagi. Bangsat emang.
BalasHapusSetahu gue, mentertawakan kesialan sendiri itu juga bentuk komedi, Man. Gue sering melakukan itu buat meringankan beban hidup. Urusan lucu apa enggaknya di pembaca, gue bodo amat.
HapusMenertawakan kesialan? Hp jatoh dari motor, hp retak, atau apa lagi? Hahaha
HapusKalo gue sih supaya tulisannya biar gak dianggap terlalu menyedihkan, Man. Bener kata Yoga, kadang menertawakan diri sendiri itu juga penting. Biar meringankan beban hidup. Haha
saya juga beberapakali ditolak sama perusahaan hufft
BalasHapusgue enggak tau perkataan gue ngefeke atau enggak, tapi, semangat brader.
BalasHapuskayaknya kali ini, lu dapat banyak pelajaran dari ajun ini yak. ternyata yang tatoan pun masih inget untuk beribadah. tapi masih banyak aja yang menganggap yang tatoan itu jahat. ehe
kalau yang pernah gue denger sih, emang semua orang pernah gagal dalam menjalani sesuatu. tapi orang bijak belajar dari kegagalan orang lain, lalu mencoba dengan cara lain. karena buat apa melakukan kesalahan yang sma dilakukan oleh teman kita sendiri, padahal masih banyak kesalahan yang belom kita perbuat.
ehe
"Tato itu seni" - Ajun
HapusTapi yang namanya manusia, Ji, kadang mereka gak bakalan kapok kalo enggak dia sendiri yang ngerasain kegagalan tersebut.
Tapi bener juga, seenggaknya kita gak mengulangi dari kesalahan orang lain. Hehe.
Setiap orang ujiannya beda beda. Semoga ajun dapat menyelesaikan masalahnya dengan jalan terbaik.
BalasHapusUntuk Dian, semangat ya! Semoga nanti Allah mempertemukan kamu dengan pekerjaan yang cocok, dilancarkan urusan dan rizkinya. Aamiin!
Aamiin...
HapusNyari kerjanya coba2 aja kali ya, biar kalo gagal gak mengecewakan banget. 😄
Keep spirit!!!!
BalasHapusSiap bang Moel. \m/
HapusINI KENAPA JADI UJUNG-UJUNGNYA KE KAOS KAKI YAAAA!
BalasHapusEniwei, jadi Dadang itu Irfan? Irfan itu Mang Dadang? Semangat cuuy semoga dapet kerjaan yang terbaik ya! \\(w)/
Irfan kakaknya. T__T
HapusAamiin.. nuhun, Di.
Semoga nanti kamu cepat dapat pekerjaan yah. Aku juga paham banget gimana rasanya. Jangan lupa sering berdoa, tetap tawakal. Mudah-mudahan ada jalan. Banyak-banyak bersabar yah.
BalasHapusUdah kerja sih sebenernya, cuma merasa masih kurang. :3
HapusMakin baca kebawah tulisannya makin filosfis amat yan. Di bberapa bgian ketawa, abis itu serius lagi. Ketawa lagi. Serius lagi. Sebegitu beratnya kah nyari pekerjaan di Jakarta.
BalasHapusOiya, sya dari tadi nunggu alasan Ajun kok bikin tatto Bunda maria dbelakang badannya. Itu mksdnya apaan yak.
Hati-hati Rey, konon katanya kalo ketawa-serius terus nanti jadi....
HapusKalo soal tato, nanti ditanya ke orangnya langsung deh. Tapi dulu pernah denger dari beliau, kalo tato itu seni. Pfft.
Aku baru pertama kali main ke blog kamu kayanya, tulisannya panjang2 jadi inget Yoga hehehe.
BalasHapusMau komen semangat udah diwakilin sama komen2 diatas, mau komen kasian tapi sebagian manusia tidak perlu dikasiani, jadi aku doain aja semoga hidup kamu tetap senang sampai hari ini. Apapun yang terjadi.
Hahaha... kepanjangan yah.. :D
HapusEnggak usah dikasihani, justru saya aja pengennya ngetawain diri sendiri. Haaa..
Makasih Fasya udah berkunjung.
semangat kak!
BalasHapus*aorlin(.)com
Memang ada beberapa orang yang begitu. Tattoan iya tapi ibadah tetap jalan. Bahkan mungkin lebih lancar dibanding yang enggak tattoan. Kadang hidup memang selucu itu. Omong-omong pertanyaannya bangke sekali, ya. XD
BalasHapusPosting Komentar
Terima kasih untuk waktunya, berikan komentarmu di sini.