Setelah kepindahan Nayla ke luar
kota, tepat pada awal bulan Mei, aku dan Nay—begitu aku biasa memanggilnya—tidak
pernah bertemu lagi, sesekali aku mendengar kabar buruk tentang Nay, tapi aku
tidak percaya. Aku dan Nay, sudah berjanji akan selalu berkirim surat, aku
selalu menantikan surat-surat darinya, dan aku akan selalu mengirimi surat buat
Nay. Aku akan bercerita apapun ketika menuliskannya.
Pada akhir bulan Mei 2006, satu
bulan setelah kepindahan Nay, aku mengirim surat padanya, surat pertamaku, kira-kira
dua lembar yang kutulis dengan bahagia. Aku bercerita bahwa motorku yang rusak telah
diperbaiki, aku juga sudah mengganti lampunya, jadi kalau saja Nay masih berada
di sini dan meminta aku untuk menjemputnya, pasti aku akan buru-buru datang.
Aku juga menceritakan tentang bekas rumah Nay kini sudah ditempati penghuni
baru. Kalau aku punya uang banyak, sebenarnya aku ingin sekali membeli rumah
itu, rumah tersebut sangat berarti buatku dan Nay, banyak kenangan yang
tertinggal di sana, dan mungkin suatu saat bentuk rumah itu akan berbeda karena
sudah ada rencana renovasi oleh pemilik baru rumah tersebut, begitulah yang
kudengar dengan secara tidak sengaja dari beberapa orang tetangga yang
berbicara di sebuah warung kopi yang jaraknya tidak jauh dari rumah Nay dulu.
Setiap sebulan sekali aku
mengirim surat buat Nay, aku menceritakan apapun, sesekali bercerita tentang
masa lalu aku dan Nay, sebelum kepindahan Nay. Aku juga bercerita tentang betapa
merindukannya aku kepada Nay. Dan aku tulis dalam surat tersebut, kalau suatu
saat aku akan datang untuk mengunjunginya, tapi aku akan datang setelah Nay
memintaku untuk datang. Datanglah nanti ke sana, tapi setelah aku balas
suratmu, nanti aku akan memintamu untuk datang, kata Nay dulu sebelum pindah
dan sambil memberikan secarik kertas bertuliskan alamat rumahnya yang baru.
Memasuki bulan Oktober, seperti
biasa, pada akhir bulan aku selalu mendatangi kantor pos untuk mengirim surat
buat Nay, sampai orang-orang di kantor pos mengenal wajahku dan mungkin merasa
heran, kenapa aku mengirim surat tapi tidak pernah mendapat balasan sekalipun.
Mungkin salah alamat, begitu kata petugas yang sedang bertugas di sana berkata
padaku. Tapi aku yakin alamat yang kutuju sudah benar, alamat yang Nay berikan
padaku sebelum dia pergi bersama ibunya. Jadi tidak mungkin kalau salah. Aku
percaya Nay. Nay tidak pernah berbohong padaku.
Menulis surat buat Nay adalah
sebuah kewajiban, saat menulisnya aku merasa hidupku sudah tidak harus
melakukan apapun lagi. Sepulang sekolah aku menulis surat, sampai lulus sekolah
dan ketika sudah bekerja seperti sekarang, surat buat Nay adalah sebuah
kewajiban. Aku tidak peduli kalau aku memiliki sedikit teman, aku pikir
memiliki satu teman saja sudah cukup. Nay saja sudah cukup.
Nay, hari ini aku sudah bekerja di sebuah surat kabar. Aku memilih pekerjaan
ini karena sudah biasa menulis kisah-kisah, jadi kalau menuliskan sebuah berita
atau cerita, aku pasti sangat bahagia, saat menuliskan apapun, aku selalu
teringat padamu. Beberapa kali orang-orang di kantor memuji karya tulisku.
Kalau kamu ada di sini, pasti aku akan bercerita banyak sekali. Di sini aku
juga mempunyai teman-teman baru, mereka semua baik, aku tidak perlu banyak
bicara untuk mendapatkan teman, kami saling mengerti. Terkadang kami di sini
juga sering makan bersama di kantin yang cukup luas. Aku juga sangat menyukai
makanan di sini, dan di sini juga ada telur gulung kesukaanmu, Nay, kamu harus
mencobanya, rasanya enak sekali.
Surat pendek tersebut aku kirimkan
lagi pada akhir Februari 2017. Aku mendatangi kantor pos yang sejak awal surat
pertamaku buat Nay dikirimkan. Beberapa orang di kantor pos tersebut
diantaranya sudah bukan orang yang sama. Oh jadi kamu yah yang sering datang ke
sini pada akhir bulan, kata salah satu pegawai baru di sana berkata padaku, aku
hanya tersenyum. Mungkin pegawai lama di sana yang menceritakannya pada orang
baru tersebut.
Aku sering dinasehati beberapa
teman-temanku untuk berhenti mengirim surat. Carilah pacar, kata temanku, tapi
aku tidak terlalu mendengarkannya, Nay adalah yang paling istimewa buatku.
Orang-orang di kantor pos juga sering
berkata kenapa aku tidak pergi saja ke rumah Nay, kan sudah ada alamatnya,
katanya. Tapi aku tidak ingin membuat Nay kecewa, aku hanya akan datang kalau
Nay yang meminta. Aku sudah berjanji kepada Nay. Aku juga sering memimpikan
Nay, dalam mimpiku Nay menyuruhku untuk berhenti mengirim surat padanya, pasti
karena aku terlalu banyak mendengar orang-orang yang menasehatiku untuk
berhenti mengirim surat. Beberapa orang yang selalu berkata buruk tentang Nay.
Aku bahagia ketika menulis surat
buat Nay, aku bahagia ketika mengingat saat-saat dengan Nay. Jadi, bagaimana
mungkin aku harus berhenti melakukan apa yang membuatku bahagia?
Hampir sebelas tahun aku mengirim
surat buat Nay. Sebelas tahun aku memikirkan wajah Nay, wajah yang berusia 16
tahun. Sampai sekarang aku hanya memikirkan wajah tersebut. Sesekali aku
memikirkan wajah Nay sekarang seperti apa bentuknya, mungkin rambutnya sudah
bertambah panjang, tubuhnya bertambah tinggi, mungkin juga payudaranya sedikit
bertambah besar dan senyumnya yang pasti masih terlihat manis. Meski pernah
berpikir seperti itu, bayanganku tentang Nay masih sama, bayangan Nay yang
berusia 16 tahun. Aku yakin Nay dengan usianya yang sekarang masih tidak jauh berbeda
dengan Nay yang dulu.
Masih menulis surat pada
tahun-tahun yang apapun serba digital, mungkin orang-orang menganggapku aneh,
tapi mau bagaimana lagi, hanya itu yang bisa aku lakukan sekarang ini, lagipula
aku sangat menyukai ketika aku menulis surat buat Nay. Saat menulisnya, aku
seperti sedang bercerita langsung kepada Nay. Seperti dulu, aku bercerita
tentang guru matematika yang galak, dan Nay menertawakan ceritaku. Dan juga,
surat adalah satu-satunya yang membuat aku selalu merasa dekat dengan Nay
meski jarak sebenarnya terpisah jauh.
***
Entah sudah berapa surat yang aku kirimkan, aku
tidak sempat menghitungnya. Beberapa orang khawatir padaku, tapi aku tidak
mengerti kenapa mereka khawatir? Padahal aku baik-baik saja. Mungkin, mungkin
saja, mereka hanya khawatir akan waktu,
waktu yang hampir 11 tahun lamanya bagi mereka. Tapi bagiku, 11 tahun hanyalah
angka, angka yang masih bisa aku hitung dengan jari. Lagipula, untuk mencintai
seseorang bukanlah waktu yang menentukan. Kita bebas selama apapun mencintai
seseorang. Aku bebas mencintai Nay selama yang aku mau.
Selama sebelas tahun itu juga,
aku terus dihantui mimpi buruk tentang Nay—Nay yang meninggal dalam kecelakaan
mobil pada hari keberangkatannya untuk pindah rumah 11 tahun lalu. Mimpi buruk
yang pada akhirnya sesekali aku tuliskan dalam sebuah surat yang aku kirimkan
buat Nay. Mimpi buruk yang sama persis orang-orang katakan kepadaku. Mimpi buruk
itu selalu menghantuiku hampir setiap malam. Mimpi buruk yang ketika aku terbangun
selalu membuat air mataku menetes deras.
Tapi aku percaya, mimpi hanyalah mimpi, kadang mimpi selalu berbanding terbalik
dengan kenyataan.
Aku menulis lagi surat buat Nay,
kali ini aku menuliskannya cukup panjang, aku selalu mempunyai banyak cerita ketika
menulis surat buat Nay, walau sesekali yang kukirimkan hanyalah surat-surat
pendek saja. Surat yang aku tulis seperti biasanya; bahagia, menghabiskan
banyak tinta dan aku baca ulang beberapa kali. Untuk pertama kalinya, aku
menuliskan banyak kata rindu dalam surat
itu. Aku pikir, ada baiknya juga kalau aku mengantarkan langsung surat itu
kepada alamat yang Nay pernah berikan padaku. Dan aku bisa membacakan suratku
secara langsung di depan Nay, dia pasti senang.
Awal bulan Mei 2017, aku
memutuskan untuk ambil cuti satu minggu dari kantor tempatku bekerja, aku
berkemas, beberapa pakaian ganti aku bawa. Handuk, sikat gigi, beberapa buku
bacaan dan beberapa hal lain yang aku perlukan juga sudah aku masukan ke dalam
tas.
Tepat pukul 8 pagi aku mendatangi
terminal bus yang sama seperti bus yang mengantar Nay pergi ke rumah barunya 11
tahun lalu. Untuk pertama kalinya juga aku pergi meninggalkan tempat tinggalku,
aku memang jarang bepergian jauh.
Selagi menunggu beberapa
penumpang lain masuk, aku membaca buku yang aku bawa; Norwegian Wood, oleh
Haruki Murakami. Buku yang belum selesai aku baca itu sengaja aku bawa karena
memang ingin segera aku selesaikan. Beberapa orang bilang, setiap yang membaca
buku itu akan mendapat kutukan; “kau akan bernasib tragis!” begitulah yang aku
dengar. Tapi aku pikir ada bagusnya juga menyebar rumor seperti itu, dengan
begitu, orang-orang pasti akan penasaran akan cerita yang tertulis di dalamnya. Lagipula,
aku juga mengetahui rumor itu baru-baru ini, dan buku Norwegian Wood sendiri sudah
aku miliki sebelum aku mengetahui rumor tersebut.
Bagian demi bagian telah aku
baca, sosok Midori dalam buku itu selalu terbayang sebagai perempan yang manis,
lucu dan selalu berpikir ke depan, walaupun sebenarnya sosoknya terlihat badung. Jujur saja kalau aku yang menjadi Watanabe—yang
menjadi tokoh utama dalam buku itu, pasti aku akan hidup bahagia dengan Midori
dari pada dengan Naoko. Tapi kalau
dipikir lagi, cinta Watanabe kepada Naoko memang harus diperhitungkan juga,
seperti aku kepada Nay. Ah, beberapa hal memang tidak baik kalau harus
dipaksakan.
Bus telah berjalan lambat, aku
mulai mengantuk. Aku memasukan surat-suratku untuk Nay ke dalam buku yang
sedang aku baca. Rasa lelah
mengalahkanku. Aku mencoba menyenderkan kepalaku ke kaca bus, sambil melihat jalanan
pagi yang cukup ramai orang-orang yang sibuk dengan kehidupannya masing-masing.
Kemarin aku juga seperti mereka, pikirku sebelum tiba-tiba aku terlelap dalam
tidur.
Seperti biasa, ketika tertidur, mimpi
itu datang lagi bahkan di waktu yang tidak tepat. Mimpi yang selalu
menghantuiku selama sebelas tahun, mimpi yang selalu membuatku menangis ketika
terbangun; bus melaju kencang, orang-orang berteriak, dan aku melihat Nay. Dalam
mimpiku, biasanya Nay berteriak, tapi dalam mimpi kali ini, Nay tersenyum
kepadaku, aku berada dalam bus itu bersama Nay.
Aku melihat bus yang terbalik,
asap keluar diantaranya, kaca-kaca jendela berserakan, darah-darah dari para
penumpang seolah memberikan warna tersendiri di jalanan. Suara orang-orang
berteriak minta bantuan. Aku melihat mereka berusaha berjalan keluar, aku
melihat beberapa yang tidak lagi bergerak, aku melihat dari luar, aku melihat
diriku sendiri yang sudah tidak bergerak, aku melihatnya bersama Nay, aku di samping Nay. Mimpi seperti
biasanya yang membuatku selalu merasa takut, kali ini mimpi itu membuatku
merasa tenang, mimpi yang membuatu tidak ingin terbangun, dan mimpi yang
membuatku bertanya-tanya; kapan aku akan terbangun?
9 Comments
Baru engeh, saran gue langsung diterapkan sama lu, Yan. Info di paling bawahnya udah enggak ada lagi.
BalasHapusDuh, kenapa tiap baca fiksi rasanya mau ikutan nulis. Wqwq.
ya karena sarannya gampang, wkakak.
Hapusnulis lah, yang banyak, siapa tau bisa jadi buku kalo dikumpulin, kan.
walah ternyata ini fiksi hehe, tahun 2017 masih make surat menyurat masa wkwkwk
Hapussampe sekarang juga masih pake surat kok, apalagi kalau kirim surat ke instansi gitu
HapusKeren. Lanjoetkan !
BalasHapusah bohong ah..
Hapusiya siyaaap
Nay ini cocok kalau nama panjangnya Nayo, jangan Nayla. Biar bisa nyanyi hey nayo hey nayo
BalasHapusWah bagus banget ini yan. Suka guee. Hohoho.
BalasHapusMantaps Djiwa... Bagus sekali gan, keren... Terimakasih banyak sudah berbagi gan, maju terus...
BalasHapuss1288
download s1288
sabung ayam s1288
Posting Komentar
Terima kasih untuk waktunya, berikan komentarmu di sini.