Sebenernya cerita
ini terjadi sekitar awal Maret yg lalu, tapi mungkin saat itu gue lagi
males-malesnya nulis, jadi baru sekarang ceritanya bisa gue tulis dan bagikan
di sini. Oya! di tulisan sebelumnya gue pernah cerita kalau gue gampang
gatel kalo tiap kali ketemu ulat bulu, dan sekarang, saat menulis ini, badan
gue baru aja gatel-gatel karena “KAGAK TAU DARI KAPAN ITU ULAT BULU TIBA-TIBA
NEMPEL DI BAJU!!”. Heuheu... gue emang cowok gampangan!! T_T
Ah udahlah,
yg terjadi biarlah terjadi, sekarang mari kita lanjutkan cerita saat gue dan
temen gue kemping di Garut beberapa waktu lalu. Selamat membaca...
***
Puncak Guha, Garut |
Sekitar jam
4 sore di awal bulan Maret, gue bareng temen gue, Tomi namanya, dari lokasi
masing-masing pergi dan menentukan titik bertemu, yg kemudian pergi ke suatu tempat yg emang beberapa hari sebelumnya udah gue
datengin bareng beberapa temen yg sengaja jauh-jauh dari Jakarta buat liburan. Berlokasi di Puncak Guha, Garut
Selatan, yg kebetulan lokasinya enggak terlalu jauh dari rumah, kira-kira
hanya memakan waktu 1 jam setengah menggunakan kendaraan motor. Cianjur-Garut
bukan jarak yg jauh, kebetulan gue emang tinggal di perbatasan (Cianjur Selatan),
kayak Indonesia-Malaysia aja, cuma dalam bentuk daerah.
Rencana
kemping ini awalnya bakalan ada 4 orang yg ikut, Gue, Tomi dan dua orang
lainnya, tapi karena emang ada beberapa temen yg lagi ada kerjaan yg mungkin belum
beres atau dengan kata lain emang gak niat atau dengan kata lain lagi hanyalah
omong kosong belaka, jadilah yg pergi kemping hanya kami berdua, gue, Tomi dan
beberapa janji palsu dari seorang teman.
Sekitar jam
setengah 6 sore kami sampai di lokasi, dengan
membayar karcis 5 ribu rupiah, sudah bisa masuk dan menikmati
pemandangan pantai dan senja, tapi sebelum itu, penjaga karcis mungkin curiga
dengan tas yg dibawa Tomi begitu besarnya, kemudian dia bertanya,
“a, pada mau
kemping?” dengan nada bicara ciri khas orang Sunda.
“i..iya..”
jawab Tomi
Dengan
senyuman manis penjaga karcis itu berkata lagi, “kalo gitu, satu orang jadi 10
ribu, a”
[Play: BCL –
Kecewa (Skinnyfabs version)]
Dengan
membayar 10 ribu per-orang, kami beserta motor masing-masing sudah bisa masuk
ke area Puncak Guha, dari lokasi parkir ke lokasi hanya memakan waktu sekitar 5
menit. Dan sepanjang perjalanan,
pemandangannya bagus cooooy~ kayak di new Zealand, iya emang belum pernah ke
negara tersebut, tapi pas direkam terus dibagiin ke aplikasi hypstar ada yg
komen gitu, “Wah bagus ya kayak di film-film, kayak di New Zealand!”.
“TAMPAR SAJA AKU.. TAMPAR!!”
Puncak guha
ini, adalah tebing di pinggir laut, lokasinya dekat dengan Pantai Rancabuaya,
Garut. Garut selatan memang banyak destinasi wisata pantai, dan Puncak Guha ini
menurut gue menjadi salah satu yg lumayan banyak dikunjungi. Tempatnya asik,
pemandangannya keren, bisa melihat sunset dengan damai dari atas tebing sambil
menikmati suara ombak. Tapi please, kalo lagi patah hati jangan sampe dateng ke
sini terus tiba-tiba loncat dari tebing, gue enggak mau tempat se-keren ini
jadi sarang kuntilanak nantinya.
Bung Tomi nyantai abis~ |
Dan ketika
kami sampai di sana, yg cukup kami sesali adalah cuaca yg sedikit mendung,
matahari tenggelam tertutup awan tebal, cuma bisa menikmati sedikit cahaya
senja yg kurang sempurna. Halah~
Kami
buru-buru mendirikan tenda, karena sudah punya pengalaman memasang tenda
sewaktu kemping di Bukit Pamoyanan, Subang, gue jadi enggak terlalu bodoh-bodoh
amat buat ikut bantuin Tomi pasang tenda. Setelah beberapa menit, tenda sudah
jadi, gue sama tomi langsung membuka beberapa alat masak; kompor, mie, kopi,
dan gas 12 kg,
“YA KAGAK
LAH!!”
Maaf-maaf, yg
gas 12kg tadi cuma guyon.
Disela-sela
memasak nasi, kami juga sekalian masak aer (biar mateng) untuk nanti menyeduh
kopi disaat-saat santai sambil ngobrol, berdua, sesama lelaki, di malam hari,
hanya ada kami berdua, tidak ada orang lain lagi, ditemani gerimis. Sebuah romantisme
yg sangat-sangat menghawatirkan!
Cuaca yg
lumayan dingin, gerimis dan ditemani gemuruh ombak pantai selatan, rasanya
memang sudah waktunya untuk mengisi perut dengan yg hangat. Nasi yg kami masak
sudah matang, karena persiapan seadanya, kami
bahkan sampai lupa membawa senter atau obor olimpiade, otomatis ponsel yg sudah 20% baterainya menjadi tumbal untuk cahaya malam saat itu. Bahkan yg kami
makanpun hanya sebatas pop mie campur
nasi (biasalah orang Indonesia), mau masak sayur juga keadaan udah lumayan
gelap, jadi kami memutuskan untuk makan seadanya.
Setelah
makan, kami mendidihkan air untuk menyeduh kopi, dan... keadaan semakin
memburuk saat di mana tidak ada yg membawa cangkir sama sekali, mau pergi beli aqua gelas ke warung juga keadaannya
malah lagi hujan, maka tercetuslah ide yg sangat brilian dari seorang Tomi,
bahwa,
“AHA! KITA
JADIKAN SAJA BEKAS POP MIE INI SEBAGAI CANGKIR KOPI!!!!” katanya bicara
spontan, (kata “AHA!” cuma tambahan aja
biar seru.)
Tidak harus dipikir-pikir
panjang, gue langsung membalasnya, “MANTAPPP!!! MANTAP JIWA WAHAI TEMANKUH, INI
BARU NAMANYA FILOSOFI KOPI!” (yg aslinya cuma ngomong “MANTAPPP!!!”)
Kami ngobrol-ngobrol
sambil ditemani kopi rasa soto, iya kopi rasa soto, bekas pop mie rasa soto
kami jadikan sebagai cangkir kopi, ini beneran, mungkin kalian juga harus
mencobanya di rumah, rasa ini takkan terlupakan. Mungkin ini juga bisa
menginspirasi kalian yg suka jualan kopi di pinggir jalan untuk menawarkan ke
pelanggan tentang rasa baru kopi sachet ini, rasanya sungguh luar biasa, saat
meminumnya dijamin kalian akan merasakan pengalaman baru. Perasaan saat meminum
kopi rasa soto ini seperti langsung membawa kalian melayang ke alam baka, tenggelam
di lautan api neraka. Na'udzubillahimindzalik. Luar biasa! Cobalah sesekali~
Sekitar jam
setengah sembilan malam disela-sela kami mengobrol sambil meminum kopi ajaib
tadi, tiba-tiba datang beberapa motor ke arah dekat kami, kami kira mereka
adalah tim begal dari salah satu stasiun televisi, tapi ternyata dugaan kami salah. Kira-kira ada 6 motor,
masing-masing membawa pasangan, entah membawa perempuan atau semuanya
laki-laki, tidak telihat karena hari sudah terlalu gelap. Tapi, disela-sela
obrolan mereka yg tidak sengaja kami dengar, terdengar satu suara yg cukup menjanjikan
saat keadaan dingin di malam hari, “suara perempuan, bang!” kata Tomi sambil
menyipitkan matanya yg kemudian tesenyum sinis. Atau lebih jelasnya tersenyum
mesum, sangat mesum. Pikirannya jauh pergi melayang memikirkan perempuan
berbodi gitar spanyol.
![]() |
bodi gitar spanyol - sumber |
Mereka yg
baru datang itu, ternyata mendirikan tenda juga seperti kami, cuaca masih
gerimis, dan saat mereka memasang tenda, sepertinya memang baru pertama kali
melakukan kemping, tendanya gak jadi-jadi, lama. Jadi teringat sewaktu melakukan
kemping pertama kali di Subang.
WKWKWWKWKWKWK...
Maaf reflek tawa.
Kami
mengamati mereka yg baru datang tadi saat mendirikan tenda, jarak tenda kami
dengan orang-orang tadi kira-kira hanya 10 meter, atau 10 meter kurang 2 senti,
ah sabaraha wae lah panjangna mah, sabodo
teuing!
“LAGIAN
NGAPAIN JUGA NGITUNGIN JARAKNYA BGST!!!”
Maaf
keceplosan lagi.
***
Ketika waktu
sudah hampir jam 12 malam, Tomi sudah terlebih dahulu masuk ke dalam tenda,
mungkin untuk tidur atau sekedar menyendiri sambil menonton video hasil
download-nya tadi siang saat medapat
wifi gratisan, sementara gue lebih memilih di luar tenda, yg kebetulan gerimis
sudah mulai berhenti, cahaya bulan mulai muncul, gemuruh ombak terasa membuat
suasana semakin tenang. Lalu kemudian gue melepas kabel charger powerbank dari
ponsel yg lumayan sudah terisi 50%, membuka pola kunci, menekan aplikasi
soundcloud, lalu memutar lagu dari Float yg berjudul... Pulang.
“Bawa aku
pulang rindu... bersamamu~”, cahaya bulan, gemuruh ombak, ditemani Float,
sadiiis! mantap betul malam itu. Ah, andai bersama kamu di sini. Ehe~
Saking menikmati
suasan tenang tersebut, tidak terasa sampai terbawa tidur, lalu terbangun di
waktu subuh, menjalankan kewajiban, menyalakan
kompor, masak air kembali, membuat kopi (kalian pasti tau) sambil
menunggu datangnya matahari pagi.
Pagipun terasa sempurna ketika cuaca saat itu lumayan cerah.
Setelah
menikmati kopi, menikmati cahaya sunrise dan berfoto-foto, sekitar jam 7 pagi
kami bergegas untuk pulang, merapikan tenda, mengumpulkan sampah bekas makanan
dan menyalakan motor untuk sekedar ‘membangunkannya’ agar tidak terlalu kaget saat di-gas diperjalanan
pulang nanti.
Tapi, ternyata keberuntungan masih belum
berpihak kepada kami, setelah beberapa meter motor melaju, gue memperhatikan
ban motornya Tomi dari belakang, dan ternyata... ban motornya kempes tak
terkendali.
”Sungguh malang nasibmu kawan!”